Selasa, 08 April 2014
Asal Usul Desa Leuweung Gajah
Pangeran Walangsungsang putra Prabu Siliwangi adalah Sultan Cirebon yang dikenal dengan sebutan Ki Kuwu Cirebon atau Pangeran Cakrabuana. Pada suatu waktu beliau bermaksud melakukan tapa sambil menyiarkan dakwah ke wilayah timur. Tampuk kesultanan untuk sementara diserahkan kepada keponakannya Syekh Syarif Hidayatullah.
Pangeran Walangsungsang dalam menyiarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa senantiasa dibarengi dengan melakukan tapa (tirakat) di beberapa tempat, sehingga orang menyebutnya Ki Gede Pertapa.
Dalam salah satu perjalanan tapanya beliau mengajak putrinya Nyi Mas Cici beserta empat orang abdi dalemnya yang bernama Pangeran Danalampah, Pangeran Tenjosari, Nyi Mas Gandasari dan Nyi Mas Bodaya Kembang.
Sampailah Ki Gede Pertapa beserta para abdinya disebuah hutan belantara yang luas dan angker. Hutan itu dikenal dengan sebutan “ Leuweung Gede”. Untuk melepas lelah beristirahatlah mereka dibawah pohon lagondi (tempat itu kemudian dikenal dengan nama Blok Lagondi).
Sementara itu para danghyang yang menguasai hutan belantara Leuweung Gede mengetahui kedatangan rombongan Ki Gede Pertapa. Para penguasa rimba raya itu antara lain Nyi Mas Rambut Kasih dan pangeran Jaga Lonang bertempat di Cigobang Girang, Pangeran barangbang Siang di Cibogo, Pangeran Baranang Siang di Balagadog (Kubang Periuk), dan Pangeran jaga Utara di Bandarasri (Kubang kareo).
Kelima danghyang dibawah pimpinan Nyai Rambut Kasih mencoba menghalangi kedatangan Ki Gede Pertapa. Dengan berbagai cara mereka ingin menundukan Ki Gede Pertapa namun Ki Gede Pertapa, namun Ki Gede Pertapa adalah orang yang linwih sehingga para danghyang dapat ditaklukan, dan mereka berjanji akan mengabdi kepada Ki Gede Pertapa.
Ditempat itu, Ki Gede Pertapa berkeinginan membangun sebuah pedukuhan. Oleh karena itu para abdinya diperintahkan untuk menebang pepohonan di daerah Lagondi untuk dijadikan padukuhan yang nantinya dibangun sebuah pondok paguron (Perguruan) tentang Ilmu Agama Islam.
Pada waktu Ki Gede Pertapa hendak memulai membuka hutan Leuweung Gede untuk dijadikan padukuhan, datang serombongan prajurit Pajajaran yang dipimpin oleh Tumenggung Jagabaya dan Tumenggung Raksabaya. Kedatangan mereka sebenarnya atas perintah Raja Pajajaran untuk meninjau keadaan daerah Cirebon. Namun ketika mengetahui bahwa Ki Gede Pertapa adalah seorang yang memiliki kelebihan dalam bermacam-macam ilmu, akhirnya kedua Tumenggung tersebut berkeinginan untuk berguru kepadanya, yang tidak mereka ketahui bahwa gurunya itu adalah putra mahkota Pajajaran Pangeran Cakrabuana yang menghilang dari Keraton Pajajaran. Dengan senang hati Ki Gede Pertapa menerima keinginan mereka, asalkan mereka mau memeluk agama Islam. Merekapun menyatakan bersedia.
Pekerjaan membuka hutan tetap diteruskan. Ki Gede Pertapa kemudian memerintahkan Pangeran Danalampah, Pangeran Tenjosari, Tumenggung Jagabaya dan Tumenggung Raksabaya untuk mendirikan pondok paguron Lagondi, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air diperintahkan membuat sumur di Lebak Tangkele, disebeleh selatan Blok Lagondi (sekarang Blok Masjid). Sedangkan Ki Gede Pertapa beserta yang lainnya melanjutkan membuka hutan untuk dijadikan pahumaan atau tempat bubuara. (Pabuaran –bhs Sunda, artinya tempat mencari nafkah).
Setelah padukuhan terwujud, Ki Gede Pertapa ingin memberi nama padukuhan. Lalu diadakan musyawarah dengan para pengikut dan abdi dalemnya. Pangeran Tenjosari mengajukan usulan agara padukuhan baru itu diberi nama “Leuweung Gajah”, dengan alasan sesuai dengan keadaan alam di daerah hutan (leuweung) itu yang telah dihuni oleh empat puluh satu ekor gajah. Berdasarkan musyawarah mupakat, diputuskan bahwa nama padukuhan itu adalah “Leuweung gajah”.
HABIB TOHA DAN SUMUR KERAMAT
Sekitar abad ke-16, perkembangan agama Islam sangat pesat. Pondok Paguron banyak didatangi orang dengan tujuan ingin menjadi murid dan belajar agama serta belajar ilmu kanuragan. Tidak ketinggalan Ki Jaya meski telah memiliki ilmu tinggi, tetapi ia masih ingin memperdalam ilmu kedigjayaan di paguron Leuweung Gajah. Ki Jaya mempunyai cacat pada mukanya akibat goresan pedang ketika perang tanding dengan musuh.
Suatu hari Ki Jaya yang cacat mukanya itu bertemu dengan seorang gadis cantik putri sesepuh Leuweung Gajah. Ki Jaya sangat tertarik dan berkeinginan mempersunting gadis itu. Untuk mencapai maksudnya, ia berusaha sekuat tenaga dengan jalan mengabdikan diri kepada keluarga gadis itu. Dengan harapan pujaannya itu akan mencintainya.
Meskipun Ki Jaya telah cukup lama mengabdi kepada keluarga gegeden itu, namun gadis pujaannya itu tidak memberikan harapan sedikitpun. Betapa kecewa dan sakit hati karena cintanya tak terbalas. Dengan perasaan kesal dan penuh rasa dendam Ki jaya meninggalkan Leuweung Gajah.
Ki Jaya pergi mengasingkan diri ke suatu tempat untuk menenangkan diri. Namun ditempat pengasingan itu justru rasa sakit hati dan dendam semakin membara. Timbulah niat jahat, bahkan bukan hanya kepada keluarga gadis itu saja akan membalas kekecewaannya, namun ia pun menaruh dendam kepada seluruh isi padukuhan.
Niat jahat Ki Jaya itu dilaksanakan dengan memasukan suatu benda ke dalam sumur Blok Lagondi, dimana hampir seluruh penduduk mengambil air untuk keperluan masak dan minum dari sumur tersebut. Akibat Ulah jahat Ki Jaya tersebut timbullah musibah menimpa penduduk Leuweung Gajah. Setiap irang yang mempergunakan air dari sumur itu langsung terkena berbagai penyakit, seperti sakit perut, muntah darah, dan gatal-gatal. Bahkan anak-anak balita terserang penyakit lumpuh, dan gadis-gadis menjadi jauh dari jodohnya. Peristiwa ini sangat menggegerkan dan beritanya tersebar kemana-mana, bahwa sumur Leuweung Gajah beracun. Akhirnya sumur itu dilarang untuk diambil airnya.
Karena sumur Leuweung Gajah beracun dan airnya tidak dapat dipergunakan atau dimanfaatkan, maka untuk memenuhi kebutuhan air, penduduk terpaksa ngulak cai (mengambil air-bhs sunda) ke daerah Lebak Gede/Cibogo, yang sekarang lebih di kenal dengan nama Desa Cikulak (dalam wilayah Kecamatan Waled). Karena air dari daerah Lebak gede Cibogo ini tidak mencukupi, Pangeran Danalampah membuat sumur lagi di daerah Damarguna. Sumur tersebut terkenal dengan sebutan “Sumur Pangeran”.
Beberapa waktu kemudian, datanglah ke padukuhan Leuweung gajah seorang ulama dari Mesir bernama Habib Toharudin. Beliau datang ke daerah itu untuk mengetahui perkembangan agama Islam di tanah Cirebon yang diterima dengan baik oleh Penduduk Leuweung Gajah, dan dalam waktu singkat terjalin hubungan yang sangat akrab.
Habib Toha adalah seorang yang alim dan waskita. Tanpa ada yang meberitahu kejadian sumur beracun, beliau mengetahui sebab musababnya. Atas prakarsa beliau dan izin Ki Gede Pertapa, sumur beracun itu kemudian dikuras. Setelah airnya surut, di dasar sumur itu ditemukan waluh (labu) berwarna hitam. Labu itu kemudian dibelah oleh Habib Toha, dan terjadilah suatu keajaiban. Dari belahan labu itu keluar seekor menjangan wulung berwarna hitam, seraya menjangan itu menghilang sambil berkata bahwa ia hanyalah suruhan seseorang yaitu Ki jaya.
Untuk membuktikan pengakuan menjangan tadi, dipanggillah Ki Jaya. Di hadapan musyawarah para gegeden, ia mengakui seluruh perbuatan jahatnya. Akhirnya ia memohon ampun dan berjanji tidak akan mengulang kembali perbuatan seperti itu. Ia menyadari bahwa jodoh, pati, rezeki dan celaka adalah rahasia Yang Maha Kuasa. Kemudian ia diampuni dan diterima kembali sebagai warga padukuhan Leuweung Gajah.
Sumur telah dikuras itu kemudian terisi air kembali, dan Habib Toha memasukan hikamh (Karomah) kedalamnya sehingga bersih dari pengaruh racun waluh ireng, dan air sumur itu dapat dimanfaatkan kembali. Segala penyakit yang diderita oleh penduduk di obati dengan mandi di sumur itu sehingga kembali seperti semula.
Sejak saat itu sumur Leuweung Gajah banyak didatangi orang dan diambil airnya untuk dipergunakan berbagai hajat atau tujuan, seperti hajat khitanan atau perkawinan, untuk pertanian, perdagangan dan juga agar dapat jodoh hingga sekarang.
Sumber: http://cirebonasli.blogspot.com/2013/02/asal-usul-desa-leuweung-gajah.html#more
Langganan:
Postingan (Atom)